2.
CONTOH KASUS LETTER OF CREDIT BESERTA SOLUSINYA
1.
Kasus L/C Fiktif Bank Bni
Latar Belakang
Kasus
pembobolan Bank BNI menjadi isu yang mengejutkan masyarakat Indonesia di akhir
tahun 2003, dimana Bank BNI mengalami kerugian sebesar Rp 1,7 triliun yang
diduga terjadi karena adanya transaksi ekspor fiktif melalui surat Letter of
Credit (di ingkat L/C). Kasus ini menjadi fenomenal karena selain merugikan
keuangan Bank BNI tetapi juga berimbas pada keuangan negara secara makro.
A. Profil Singkat Bank BNI
Bank
BNI didirikan pada tahun 1946. Perusahaan publik ini mayoritas sahamnya
dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia. Bank BNI merupakan bank terbesar
nomor 3 di Indonesia setelah Bank Mandiri dan BCA dengan total aset pada tahun
2003 sebesar IDR. 131,49 triliun.
Visi
: Menjadi Bank kebanggaan nasional yang
unggul dalam layanan dan kinerja
Misi
: Memaksimalkan stakeholder value dengan menyediakan solusi keuangan yang fokus
pada segmen pasar korporasi, komersial dan konsumer
Budaya
Perusahaan
1. BNI adalah bank umum berstatus perusahaan
publik.
2. BNI berorientasi kepada pasar dan
pembangunan nasional.
3. BNI secara terus menerus membina hubungan
yang saling menguntungkan dengan nasabah dan mitra usaha.
4. BNI mengakui peranan dan menghargai
kepentingan pegawai.
5. BNI mengupayakan terciptanya semangat
kebersamaan agar pegawai melaksanakan tugas dan kewajiban secara profesional.
B. Ringkasan Kasus
Awal terbongkarnya kasus menghebohkan ini
tatkala BNI melakukan audit internal pada bulan Agustus 2003. Dari audit itu
diketahui bahwa ada posisi euro yang gila-gilaa besarnya, senilai 52 juta euro.
Pergerakan posisi euro dalam jumlah besar mencurigakan karena peredaran euro di
Indonesia terbatas dan kinerja euro yang sedang baik pada saat itu. Dari audit
akhirnya diketahui ada pembukaan L/C yang amat besar dan negara bakal rugi
lebih satu triliun rupiah.
Penjelasan
mengenai L/C fiktif BNI tersebut adalah sebagai berikut :
-
Waktu kejadian : Juli 2002 s/d Agustus 2003
- Opening Bank : Rosbank Switzerland, Dubai
Bank Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Kenya Ltd.
- Total Nilai L/C : USD.166,79 juta & EUR
56,77 juta atau sekitar Rp. 1,7 trilyun
- Beneficiary/Penerima L/C : 11 perusahaan
dibawah Gramarindo Group dan 2 perusahaan dibawah Petindo Group
- Barang Ekspor : Pasir Kuarsa dan Minyak
Residu
- Tujuan Ekspor : Congo dan Kenya
- Skim : Usance L/C
Kronologi :
1.Bank
BNI Cabang Kebayoran Baru menerima 156 buah L/C dengan Issuing Bank : Rosbank
Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle East
Bank Kenya Ltd. Oleh karena BNI belum mempunyai hubungan koresponden langsung
dengan sebagian bank tersebut di atas, mereka memakai bank mediator yaitu
American Express Bank dan Standard Chartered Bank.
2.
Beneficiary mengajukan permohonan diskonto wesel ekspor berjangka (kredit
ekspor) atas L/C-L/C tersebut di atas kepada BNI dan disetujui oleh pihak BNI.
Gramarindo Group menerima Rp 1,6 trilyun dan Petindo Group menerima Rp 105
milyar.
3.
Setelah beberapa tagihan tersebut jatuh tempo, Opening Bank tidak bisa membayar
kepada BNI dan nasabahpun tidak bisa mengembalikan hasil ekspor yang sudah
dicairkan sebelumnya.
4.
Setelah diusut pihak kepolisian, ternyata kegiatan ekspor tersebut tidak pernah
terjadi.
5.Gramarindo
Group telah mengembalikan sebesar Rp 542 milyar, sisanya (Rp 1.2 trilyun)
merupakan potensi kerugian BNI.
Dalam
menanggapi kasus ini manajemen Bank BNI mengatakan bahwa tidak ada ekspor
fiktif dan belum ada kerugian, tetapi yang ada hanya potensi kerugian
(potential losses).
Pertanyaannya
adalah apakah mungkin kerugian sebesar itu terjadi tanpa ekspor fiktif ?
Minimnya informasi mengenai sistem pembayaran perdagangan internasional melalui
letter of credit (L/C) menimbulkan semakin banyaknya pertanyaan mengenai kasus
pembobolan Bank BNI.
II. Identifikasi Permasalahan
Identifikasi permasalahan yang akan
dibahas pada paper ini adalah sebagai berikut :
A.Apa
saja perikatan yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam transaksi
L/C ?
B.Apa
saja pelanggaran/penyimpangan yang terjadi dalam penanganan transaksi L/C-L/C
tersebut di Bank BNI ?
C.Apa
saja upaya-upaya yang dapat dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang
kembali di Bank BNI pada masa-masa yang akan datang ?
III. Landasan Teori
Dalam
perdagangan internasional, sistem pembayaran dengan menggunakan Letter of
Credit (atau disingkat L/C) adalah sistim yang paling baik dan fair baik bagi
eksportir maupun importir. L/C merupakan sistem yang paling lazim digunakan
para eksportir dan importir karena dalam pelaksanaan L/C, semua pihak, termasuk
bank, hanya berurusan dengan dokumen, bukan dengan barang, jasa, atau
pelaksanaan lainnya yang berkaitan dengan dokumen bersangkutan. Dengan
menggunakan L/C para pihak mendapatkan perlakuan fair, karena kepemilikan atas
barang yang diperdagangkan baru dapat berpindah tangan jika semua pihak telah
memenuhi kewajibannya.
A. Definisi-Definisi dalam Transaksi Letter
of Credit
Pada
umumnya L/C digunakan untuk membiayai penjualan barang/jasa jarak jauh antara
eksportir dan importir.
Definisi
L/C menurut CFG Sunaryati Hartono : ”Secara harfiah L/C dapat diterjemahkan
sebagai Surat Hutang atau Surat Piutang atau Surat Tagihan, tetapi sebenarnya
L/C lebih merupakan janji akan dilakukan pembayaran,apabila dan setelah
terpenuhi syarat-syarat”
Bank
Indonesia memberikan definisi mengenai L/C sbb :
”Letter
of Credit adalah janji dari issuing bank untuk membayar sejumlah uang kepada
eksportir sepanjang ia dapat memenuhi syarat dan kondisi Letter of Credit
tersebut”
Sedangkan
menurut Uniform Customs and Practice for Documentary Credit, ICC Publication
No. 500 tahun 1993 (UCP 500), definisi L/C adalah : ”Setiap perjanjian, apapun
namanya atau maksudnya, dimana suatu bank (Issuing Bank atau bank penerbit)
bertindak atas permintaan dan instruksi seorang nasabah (Applicant/pembuka)
atau atas namanya sendiri, untuk melakukan pembayaran kepada pihak ketiga atau
kuasanya (orang yang ditunjuk oleh beneficiary/penerima L/C) atau memberikan
kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran, atau untuk mengaksep dan
membayar bill of exchange/wesel, atau memberi kuasa kepada bank lain untuk
menegosiasi atas penyerahan dokumen-dokumen yang ditetapkan, asalkan memenuhi
persyaratan dan kondisi L/C”
Berikut ini
diuraikan definisi istilah-istilah dalam kaitannya dengan transaksi ekspor dan
impor menggunakan L/C :
1.Applicant
atau Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penerbitan/pembukaan L/C
applicant biasanya adalah importir
2.Issuing
Bank/Opening Bank atau Bank Penerbit adalah bank yang diminta oleh applicant
untuk menerbitkan L/C
3.
Advising Bankatau Bank Penerus adalah bank koresponden dari Issuing Bank yang
diminta untuk meneruskan L/C kepada eksportir
4.
Negotiating Bank atau Bank Penegosiasi adalah bank yang diberi kuasa oleh
Issuing Bank untuk membayar sejumlah uang kepada beneficiary, sepanjang
beneficiary telah menyerahkan dokumen-dokumen ekspor yang sesuai dengan syarat
dan kondisi L/C
5.Benefiary
atau Penerima adalah pihak yang menerima L/C dan biasanya juga adalah
eksportir.
6.
Confirming Bank adalah bank yang ditunjuk oleh Issuing Bank untuk melakukan
pembayaran dalam hal Issuing Bank cidera janji tidak melakukan pembayaran,
sepanjang syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi.
7. Sight L/C adalah L/C yang mensyaratkan
pembayaran atas unjuk, dimana kewajiban bank untuk melakukan pembayaran adalah
pada saat dokumen-dokumen diajukan kepadanya.
8.Usance
L/C mensyaratkan pembayaran berjangka, dimana bank berkewajiban untuk membayar
pada waktu tertentu pada masa yang akan datang, misalnya : 180 hari setelah
tanggal B/L.
9.
Negosiasi adalah pembelian dokumen oleh Negotiating Bank disertai pembayaran
kepada beneficiary.
B. Alur Transaksi Letter of Credit
Sebelum
lebih jauh membahas mengenai kasus BNI, terlebih dahulu akan diuraikan
sistematika alur transaksi dalam L/C sebagai berikut :
Dari
gambar tersebut, berikut diuraikan alur L/C, barang dan uang sbb :
1.
Eksportir dan Importir menandatangai kontrak jual beli barang.
2.
Importir/pemohon/applicant mengajukan aplikasi pembukaan L/C kepada Bank
Pembuka
3.
Bank Pembuka menerbitkan L/C dan mengirimkannya melalui korespondennya dinegara
eksportir (yang yang menerima disebut Bank Penerus/Advising Bank)
4.
Bank Penerus meneruskan L/C melalui banknya beneficiary/penerima L/C.
Banknya beneficiary meneruskan L/C kepada
beneficiary
5.
Beneficiary menyiapkan barang untuk kemudian mengapalkannya dengan tujuan ke
negara importir sesuai kontrak yang disepakati
6.
Eksportir kemudian menyerahkan dokumen ekspor, lazimnya terdiri dari Wesel/Bill
of Exchange, Bill of Lading, Commercial Invoice, Packing List dan dokumen lain
yang dipersyaratkan L/C dan Bank Penegosiasi memeriksa kelengkapan dan
kesesuian dokumen dengan L/C dan membayarkan senilai wesel yang diserahkan
7.
Bank Penegosiasi mengirimkan dokumen-dokumen yang sudah dinegosiasi kepada Bank
Penerbit untuk mendapatkan pembayaran
8.
Bank Penerbit membayarkan kepada Bank Penegosiasi
9.
Bank Penerbit menyerahkan dokumen tersebut kepada pemohon untuk kemudian
pemohon mengambil barang dari pelabuhan.
C.
Praktek-Praktek Umum Dalam Menangani Transaksi Letter of Credit
Dalam
hubungan dengan penerapan aturan internal bank, maka semua bank telah
menetapkan aturan baku dalam menangani transaksi ekspor impor dengan L/C :
1. Pada saat menerima L/C ekspor, prosedur yang
harus dijalani adalah sbb :
a. Meyakini L/C harus diterbitkan oleh Bank
koresponden
Bank koresponden adalah bank yang
mempunyai hubungan korespondensi dengan Advising Bank. Korespondensi dalam
perbankan diwujudkan dalam bentuk pertukaran angkat test untuk telex, SWIFT
Authenticator Key, buku contoh tanda tangan, sehingga jika sebuah bank memerima
berita, surat atau surat berharga dari bank korespondennya, maka bank tersebut
dapat melakukan otentikasi untuk meyakini kebenaran dan keabsahannya.
b.
Meyakini bahwa L/C tersebut tunduk pada UCP 500
c.
Melakukan otentikasi terhadap L/C yang
diterima dari Bank Penerbit dengan :
- Melakukan verifikasi test otentikasi dalam
dalam L/C yang diteruskan dengan menggunakan telex atau mencocokkan tanda
tangan yang ada dalam L/C dengan contoh tanda tangan yang ada pada adminsitrasi
bank.
- Apabila L/C diteruskan melalui SWIFT dan
bank penerbit sudah mempunyai hubungan koresponden dengan bank penerus, maka
pada bagian atas SWIFT tersebut akan terdapat indentifiksi bahwa berita SWIFT
tersebut telah diotentikasi oleh lembaga penyelenggara SWIFT. Bank harus
meyakini adanya bukti otentikasi tersebut.
d.
Memeriksa L/C untuk memastikan bahwa syarat-syarat dan kondisi yang ada
didalamnya tidak bertentangan peraturan perundangan dan aturan internal bank.
e.
Untuk L/C yang diterbitkan dari bank yang kurang terkenal atau berasal dari
negara-negara yang resikonya tinggi atau high risk country, apalagi bila dalam
jumlah besar, maka bank akan meminta agar L/C tersebut di-kofirm oleh bank yang
bonafid (first class bank).
Konfirmasi dalam hal ini merupakan jaminan
dari confirming bank yang akan membayar semua tagihan L/C apabila ternyata
Issuing Bank wan prestasi untuk membayar tagihan L/C tersebut, sepanjang semua
persyaratan dan kondisi L/C telah terpenuhi.
2. Prosedur yang
berlaku di Negotiating bank pada saat memproses negosiasi pada umumnya adalah
sbb
:
a. Bank harus meyakini bahwa Issuing Bank
cukup bonafid, sehingga dokumen yang akan dinegosiasi nantinya pasti dibayar.
Untuk meyakini bonafiditas Issuing Bank, biasanya bank mempunyai aturan bahwa
Issuing bank haruslah Bank yang sudah mempunyai commercial line atau oleh media
masa Indonesia disebut sebagai bank koresponden. Sebenarnya terdapat perbedaan
antara Commercial Line dengan bank koresponden.
Commercial Line adalah merupakan line atau
limit yang ditetapkan oleh suatu bank terhadap bank lain dengan
mempertimbangkan aspek resiko gagal bayar jika bank tersebut mempunyai
kewajiban pembayaran. Commercial Line sendiri sebenarnya merupakan common
practice di dunia perbankan dan merupakan salah satu cara untuk meminimalisir
resiko bisnis, Sementara bank koresponden, biasanya hanya terbatas pada
pertukaran sarana otentikasi surat, telex, SWIFT dan sarana korespondensi
lainnya.
b.
Tahapan selanjutnya adalah memeriksa dokumen-dokumen ekspor yang telah
diserahkan oleh beneficiary untuk meyakini bahwa semua dokumen sudah sesuai
dengan syarat dan kondisi L/C.
c. Apabila dokumen yang diajukan adalah untuk
Usance L/C, maka Negotiating harus memintakan akseptasi terlebih dahulu kepada
Issuing Bank.
Akseptasi adalah pernyataan dari Issuing
Bank bahwa mereka mengaksep wesel dan berjanji akan membayar pada tanggal
tertentu dikemudian hari (misalnya : 180 hari setelah tanggal Bill of Lading)
D. Letter of Credit dan Hukum yang
Memayunginya
Karena
dinilai memberikan perlindungan hukum yang cukup memadai bagi semua pihak, tak
mengherankan jika dalam perdagangan internasional (ekspor impor) pihak
eksportir dan importir sepakat menggunakan L/C sebagai sarana pembayaran, tak
terkecuali eksportir dan importir di Indonesia.
Di
sisi lain, adanya dukungan perbankan juga ikut mendorong penggunaan L/C sebagai
sarana pembayaran, karena Bank Indonesia memberikan ijin kepada bank-bank
tertentu yang telah memenuhi syarat untuk menjadi bank devisa, sehingga
memungkinkan bank-bank devisa tersebut melakukan transaksi perdagangan
internasional melalui produk-produk Trade Services dan Trade Finance. Bahkan
untuk mendorong dan menggairahkan perdagangan domestik atau antar pulau, Bank
Indonesia telah membuat aturan main serupa dengan UCP 500 yaitu Surat Kredit
Berdokumen Dalam Negeri atau sering disebut SKBDN.
L/C
pada hakikatnya adalah alat pembayaran dan oleh karena itu keseimbangan antara
hak dan kewajiban para pihak dalam L/C harus dipertahankan secara adil dan
terbuka. Keadilan dan keterbukaan dalam pelaksanaan L/C merupakan suatu
keharusan karena nilai inti L/C adalah perwujudan pembayaran sejumlah uang
senilai L/C.
Applicant
L/C yang meminta bank penerbit untuk menerbitkan L/C berhak atas barang yang
dibayar berdasarkan L/C, tetapi berkewajiban untuk membayar kembali kepada bank
yang untuk dan atas nama applicant melakukan pembayaran harga barang dengan L/C
kepada beneficiary yang menyampaikan kepada bank penerbit, dokumen-dokumen yang
dipersyaratkan L/C yang mewakili barangyang dijual kepada pemohon. Jika bank
penerbit L/C memberi kuasa kepada bank yang ditunjuk untuk melakukan pembayaran
harga barang kepada penerima L/C, bank penerbit berkewajiban membayar kembali
kepada bank yang ditunjuk sejumlah uang yang telah dibayarkannya kepada
penerima.
Hak
dan kewajiban para pihak adalah sesuai dengan dengan kesepakatan berdasarkan
kontrak yang disetujui para pihak yang memuat jumlah pembayaran yang akan
direalisiasikan sebagai pengganti pengiriman barang oleh beneficiary kepada
pemohon. Saat pelaksanaan hak dan kewajiban juga dilakukan dengan merujuk pada
kesepakatan masing-masing pihak berdasarkan kontrak. Demikian juga halnya
dengan pembayaran biaya dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban.
Dalam menangani
transaksi ekspor impor di Indonesia, maka bank harus tunduk kepada :
1.
Peraturan internal Bank yang biasanya diwujudkan dalam bentuk Standard
Operating Procedure. Peraturan internal bank biasanya dibuat berdasarkan best
practice yang berlaku pada bank-bank seluruh dunia.
Layaknya peraturan perundangan di sebuah
negara, peraturan internal bank berlaku mengikat kepada seluruh pegawai bank
dimaksud, dan akan ada sanksi kepada pegawai yang melakukan pelanggaran atas
peraturan internal tersebut.
2.
Peraturan/perundangan yang berlaku di Indonesia
Di
Indonesia, teknis pembayaran L/C diatur oleh Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Peraturan
Bank Indonesia itu memberikan aturan umum mengenai kewajiban pengelolaan
perbankan secara hati-hati atau lebih dikenal dengan prinsip-prinsip
prudensial.
3.
Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP)
Ketentuan internasional L/C dimuat dalam
UCP. UCP mengatur pelaksanaan L/C secara internasional tetapi hanya bersifat
pengaturan umum. Ketentuan tehnis pelaksanaan L/C tidak diatur oleh UCP, tetapi
oleh International Standard for Banking Practices dan dalam kerangka negara
diatur oleh hukum nasional. UCP dan ISBP tidak mencampuri materi aturan UCP dan
ISBP. UCP, ISBP dan hukum nasional tidak mempunyai hubungan hirarkie karena UCP
dan ISBP bukan merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan suatu negara.
IV. Analisis
A.
Perikatan yang Timbul
Perikatan-perikatan
yang timbul di antara para pihak yang terlibat dalam transaksi L/C adalah
sebagai berikut :
1.
Antara Pemohon dan Beneficiary dalam bentuk Kontrak :
-
kewajiban pemohon untuk membayar senilai
barang yang dikirimkan oleh penjual sesuai kesepakatan
- kewajiban beneficiary untuk mengirimkan
barang yang dipesan sampai ketempat yang telah disepakati.
2.
Antara Pemohon dan Issuing Bank dalam bentuk Aplikasi L/C :
-
kewajiban pemohon untuk membayar dengan tepat waktu senilai dokumen yang sudah
diterima dan diperiksa oleh Issuing Bank
-
kewajiban Issuing Bank untuk menerbitkan L/C sesuai instruksi pemohon dan
melakukan pemeriksaan dokumen impor yang diterimanya
3.
Antara Issuing Bank dan Beneficiary dalam bentuk L/C :
- kewajiban Issuing Bank untuk membayar
sejumlah tagihan wesel ekspor sepanjang semua syarat dan kondisi L/C telah
terpenuhi
- kewajiban beneficiary untuk menyerahkan
dokumen yang disyaratkan dalam L/C
4.
Antara Issuing Bank dan Advising Bank dalam bentuk L/C :
-
kewajiban Issuing Bank untuk mengirimkan
L/C melalui sarana tercepat kepada advising bank
- kewajiban Advising Bank untuk mengambil
langkah-langkah yang benar dalam meneruskan L/C kepada beneficiary pada
kesempatan pertama, sesuai instruksi Issuing Bank
5.
Antara Issuing Bank dan Negotiating Bank dalam bentuk L/C :
- kewajiban Issuing Bank untuk membayar senilai
tagihan wesel kepada negotiating bank sepanjang syarat dan kondisi L/C telah
terpenuhi
-
kewajiban Negotiating Bank untuk
memeriksa dokumen ekspor sesuai standard waktu yang ditetapkan UCP
6. Antara Negotiating Bank dan Beneficiary
dalam bentuk Aplikasi Negosiasi :
- kewajiban Negotiating Bank untuk memeriksa
dokumen ekspor sesuai standard waktu yang lazim dan melakukan pembayaran, jika
negotiating bank memutuskan untuk membeli dokumen ekspor
- kewajiban beneficiary untuk membayar
kembali hasil negosiasi yang telah dibayarkan, jika ternyata Issuing Bank wan
prestasi.
B. Pelanggaran/Penyimpangan yang Terjadi
Berikut
ini adalah analisa mengenai kemungkinan adanya pelanggaran dalam penanganan
transaksi L/C tersebut di Bank BNI :
1.Pelanggaran
terhadap Peraturan Bank Indonesia dan Perundang-undangan Lainnya
Dalam
rangka penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank (prudential
banking practice) Bank Indonesia telah membuat ketentuan Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) yaitu 20 % dari modal disetor bank. Modal disetor BNI
per 31 Desember 2003 adalah sebesar Rp 7.042 milyar, sehingga dengan demikian
BMPK untuk kelompok Gramarindo dan Petindo adalah Rp 1,4 trilyun (20% modal
disetor). Nilai L/C yang diberikan kepada Gramarindo transaksi sebesar Rp. 1,7
triliun jelas merupakan pelanggaran karena pada dasarnya dapat digolongkan
dalam fasilitas pemberian kredit, terutama ketika fasilitas negosiasi tersebut
efektif menjadi kredit karena tidak bisa dibayar oleh Issuing Bank.
Diduga
telah terjadi tindak pidana pemalsuan terhadap L/C dan dokumen ekspor (B/L),
karena dari informasi yang ada, ternyata tidak pernah terjadi realisasi ekspor
dan pengapalan barang ke Kenya dan Kongo.
Disamping
itu, berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah diputuskan
terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang no 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Korupsi dan UU Nomor 15 Tahun 2002 Pasal 6 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
2. Pelanggaran
terhadap aturan internal Bank
Semua
bank, tak terkecuali Bank BNI pasti sudah mempunyai aturan baku dalam menangani
transaksi L/C, sehingga apabila semua aturan yang ada dilaksanakan niscaya
kasus seperti Bank BNI tidak akan terjadi.
Untuk
lebih memberikan gambaran yang rinci, akan dianalisa kemungkinan pelanggaran
pada setiap tahapan pemrosesan L/C sbb :
a. Pada saat meneruskan L/C
Dalam
pengamatan penulis, dari nama-nama Issuing Bank sebagaimana disebutkan, tidak
terdapat dalam daftar nama-nama bank yang ada di Bankers Almanac atau
setidak-tidaknya tidak cukup terkenal, untuk tidak mengatakan bahwa nama-nama
bank itu hanya fiktif.
Dalam
praktek perbankan pada umumnya, kalau Issuing Bank tersebut bukan korespnden,
tentunya pada saat L/C diterima mestinya tidak bisa diproses, karena tidak bisa
dilakukan otentikasi atas kebenaran dan keabsahan L/C dimaksud, terlebih lagi
kalau ternyata L/C itu diterbitkan oleh bank fiktif, jelas bank tidak boleh
melakukan proses selanjutnya.
Dalam
UCP 500 pasal 7 disebutkan bahwa dalam hal advising bank memutuskan untuk
meneruskan L/C maka harus mengambil langkah-langkah yang benar dalam memeriksa
keabsahan L/C yang diteruskannya. Dan apabila bank tersebut memutuskan tidak
meneruskan, maka ia harus memberitahukan kepada Issuing Bank.
Pasal
7 lebih lanjut mengatur bahwa apabila tidak bisa memastikan keabsahan L/C,
Advising Bank pada kesempatan pertama harus memberitahukan kepada Issuing Bank
dan apabila Advising Bank memilih untuk meneruskan L/C tersebut, maka ia harus
memberitahukan kepada Beneficiary bahwa ia tidak dapat memastikan keabsahan L/C
tersebut.
Ada
beberapa kemungkinan atas lolosnya L/C dari bank-bank tersebut :
i. L/C tersebut memang benar-benar asli dan
otentik, dalam arti nama bank memang ada dan Bank BNI dapat melakukan
otentikasi atas keabsahan L/C dimaksud.
ii.
L/C tersebuut asli tapi palsu, dalam artian bukan diterbitkan oleh bank-bank
tersebut,tapi dibuat seolah-olah diterbitkan oleh bank-bank tersebut dan dengan
bantuan oknum-oknum yang ada di Bank BNI dapat diotentikasi dengan menggunakan
sandi otentikasi dari bank-bank tersebut dengan cara-cara illegal.
iii.
L/C memang tidak di-otentikasi sama sekali oleh Bank BNI
iv.Satu
hal yang juga sudah menjadi praktek standard yang dilakukan oleh bank-bank
diseluruh dunia dan itu mungkin tidak dilakukan dalam kasus Bank BNI, adalah
bahwa untuk nilai transaksi yang cukup besar biasanya dimintakan klarifikasi
ulang kepada Issuing Bank untuk memastikan keabsahan dari L/C.
b.
Pada saat proses negosiasi (diskonto usance L/C)
-
Sebelum melakukan negosiasi, bank biasanya melakukan rating terhadap resiko
bank korespondennya dan kemudian dibuatkan commercial line. Ada atau tidaknya
commercial line, dijadikan dasar pertimbangan untuk menegosiasi atau tidak.
Artinya bahwa jika tidak ada commercial line, maka Bank dapat memutuskan untuk
menolak negosiasi.
-
Pada saat dokumen ekspor diajukan kepada bank, maka bank akan memeriksa untuk
meyakini bahwa semua syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi.
-
Dalam memeriksa dokumen bank tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran isi
dokumen, sebagaimana diatur dalam UCP pasal 4 : dalam pelaksanaan L/C, bank
hanya berurusan dengan dokumen-dokumen dan bukan dengan barang-barang,
jasa-jasa dan atau pelaksanaan lainnya yang berkaitan dengan dokumen yang
bersangkutan.
Meskipun
UCP pasal 4 mengatur demikian, bukan berarti bank tidak berhak mengecek apakah
memang barang telah benar-benar dimuat di atss kapal, sehingga bisa
diterbitkannya Bill of Lading.
Dalam
kasus BNI, seharusnya karena nilai dokumennya sangat besar, maka bank harus
meyakini bahwa barang memang benar-benar telah dimuat diatas kapal dengan
mengklarifikasi kepada perusahaan pelayaran atau dengan memeriksa secara
langsung di pelabuhan muat.
-
Setelah dokumen diperiksa lengkap dan sesuai dengan L/C, maka dalam kasus Bank
BNI dimana L/C mensyaratkan pembayaran berjangka, maka tahap selanjutnya adalah
memintakan akseptasi kepada Issuing Bank dan apabila sudah ada akseptasi maka
baru bisa dilaksanakan negosiasi.
c.
Penanganan Pasca Negosiasi (Diskonto Usance L/C)
Permasalahan
di Bank BNI adalah bahwa setelah jatuh tempo, ternyata pihak Issuing Bank wan
prestasi atau tidak bisa membayar tagihan wesel ekspor Usance.
Sudah
menjadi praktek umum di dunia perbankan, apabila terdapat tagihan wesel yang tidak
dibayar oleh Issuing Bank, maka Negotiating Bank harus mengusahakan agar
outstanding tagihan tersebut segera dibayar dan agar tidak terjadi akumulasi
tagihan wesel yang tidak terbayar, maka bank seharusnya untuk sementara
berhenti memberikan fasilitas negosiasi sampai semua tagihan weselnya dilunasi
oleh Issuing Bank.
Disamping
itu pada saat memberikan fasilitas negosiasi, bank biasanya mensyaratkan kepada
beneficiary untuk menyerahkan semacam surat jaminan yang dimana jika ternyata
wesel ekspornya tidak dibayar oleh bank di luar negeri, negotiating bank dapat
menarik kembali dari beneficiary atau sering disebut dengan hak regres.
Hak
regres adalah hak yang dimiliki oleh Negotiating Bank atas L/C yang tidak
di-konfirm, untuk L/C yang di-konfirm Negotiating Bank tidak mempunyai hak
regres (pasal 9.iv UCP 500)
Jadi
dalam praktek, sebelum melakukan negosiasi bank akan meminta terlebih dahulu
surat jaminan yang nantinya akan digunakan oleh Negotiating Bank untuk
meng-eksekusi hak regresnya. Bank juga harus meyakini bahwa pada saat hak
regres itu akan dieksekusi, maka rekening nasabah masih tersedia cukup dana.
Dari
penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan telah terjadi
pelanggaran prosedur dalam menangani transaksi L/C tersebut di atas sejak dari
tahap awal penerusan L/C sampai dengan L/C itu kemudian direalisir dan terjadi
negosiasi.
Pelanggaran
tersebut kemudian berlanjut hingga saat fasilitas negosiasi menjadi bermasalah
karena tidak dibayar oleh Issuing Bank, dimana kemungkinan Bank BNI kurang
cepat dalam melakukan tindakan-tindakan pengamanan atas fasilitas yang telah
diberikan kepada nasabahnya.
3. Pelanggaran terhadap UCP 500
Dalam
kasus Bank BNI, pihak yang wan prestasi adalah Issuing Bank. Dengan asumsi
bahwa nama-nama bank yang disebutkan sebelumnya adalah benar, maka Issuing Bank
dimaksud telah melanggar pasal 9.a.iii, UCP 500 yang antara lain berbunyi :
Suatu irrevocable L/C merupakan jaminan yang pasti dari Issuing Bank asalkan
dokumen-dokumen yang diminta diserahkan kepada Bank yang ditunjuk Negotiating
Bank dan sesuai dengan syarat dan kondisi L/C, untuk :
(i) apabila L/C mensyaratkan pembayaran atas
unjuk (sight) – untuk membayar atas unjuk;
(ii)
apabila L/C mensyaratkan pembayaran
kemudian (defferred payment) – untuk membayar pada tanggal jatuh tempo yang
ditentukan sesuai dengan yang disyaratkan L/C tersebut;
(iii)
apabila L/C mensyaratkan akseptasi :
(a).
oleh Issuing Bank – untuk mengaksep wesel yang ditarik olehbeneficiary pada
Issuing Bank dan membayarnya pada saat jatuh tempo
(b).
Oleh bank tertarik lainnya untuk mengaksep dan membayar pada saat jatuh tempo
wesel yang ditarik oleh beneficiary pada Issuing Bank dalam hal bank tertarik
yang ditunjuk dalam L/C tidak mengaksep wesel yang ditarik atas bank tersebut,
atau membayar wesel yang telah diaksep tetapi tidak dibayar oleh bank tertarik
tersebut pada saat jatuh tempo.
4. Penyimpangan terhadap Kebiasaan dan Best
Practice di dunia perbankan
Berdasarkan
penjelasan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan telah terjadi
penyimpangan terhadap Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan sbb:
- Tidak dilakukan assessment resiko terhadap
Issuing Bank (Commercial Line)
- Tidak dimintakan konfirmasi dari First Class
International Bank, padahal untuk yang L/C berasal dari high risk country dan
nilainya sangat besar lazimnya di-konfirm.
- Tidak dilakukan assessment terhadap nasabah
penerima fasilitas (Gramarindo & Petindo), dengan analisa 5C (Character,
Capability, Capital, Collateral & Condition) dan Trade Line
-
Tidak ada pemisahan fungsi manajemen risiko dan fungsi marketing karena semua
keputusan dilakukan oleh satu pejabat yakni Kepala Cabang atau pejabat lain
yang ditunjuk Kepala Cabang, tanpa adanya review dari sisi Risk Manajemen
5. Pelanggaran terhadap Etika
Pegawai
Bank BNI Kebayoran Baru lainnya tidak melaporkan adanya indikasi pelanggaran
prosedur diskonto L/C kepada unit yang berwenang, sehingga potensi kerugian
Bank BNI menjadi semakin besar.
6. Vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Sehubungan
dengan persidangan kasus L/C fiktif Bank BNI, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
telah menjatuhkan vonis sebagai berikut :
Vonis
terhadap pelaku internal BNI :
No Nama
Jabatan Vonis PN
1.
Edi Santosa Kabid Pelayanan luar
negeri BNI Cab. Kebayoran Baru
Penjara Seumur hidup
2.
Kusadiyuwono Kepala Cab. BNI
Kebayoran Baru Penjara 16 tahun
Vonis
terhadap pelaku nasabah BNI :
No Nama
Jabatan Vonis PN
1.Olah
Abdullah Agam Direktur PT Gramarindo
Legal Indonesia 15 tahun penjara
potong masa tahanan & denda Rp300 juta
2
Aprilla Widharta Direktur Pan
Kifros 15 tahun penjara potong masa
tahanan & denda Rp200 juta
3.
Adrian P. Lumowa Direktur Magnetique
Esa Indonesia 15 tahun penjara potong
masa tahanan & denda Rp400 juta
4.
Titik Pristiwanti Direktur Binekatama
Pasific 8 tahun penjara & denda
Rp300 juta
5.
Richard Kuontul Direktur
Netrantara 10 tahun penjara &
denda Rp150 juta
V. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan-pembahsan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus L/C
fiktif BNI tersebut, diduga telah terjadi pelanggaran dan penyimpangan terhadap
3 aspek sbb :
1. Ekonomi
Berpotensi merugikan BNI sebesar Rp 1,2
trilyun, karena dari total nilai transaksi L/C, sebesar Rp. 0,5 trilyun telah
dikembalikan oleh nasabah.
2. Hukum
Telah
terjadi pelanggaran/penyimpangan terhadap :
- Aturan Internal BNI
- Uniform Customs and Practice for
Documentary Credit (UCP)
- Kebiasaan dan Best Practice di dunia
perbankan
- Peraturan BI, UU Tindak Pidana Korupsi dan
UU Tindak Pidana Pencucian Uang
- Telah terjadi tindak pidana pemalsuan
terhadap L/C dan dokumen ekspor (B/L)
3. Etika
Pegawai Bank BNI Cabang Kebayoran Baru
lainnya tidak melaporkan adanya indikasi pelanggaran prosedur diskonto L/C
kepada unit yang berwenang di BNI.
B. Saran
Agar
kejadian serupa tidak terulang kembali di Bank BNI pada masa-masa yang akan
datang, disarankan melakukan langkah-langkah sbb :
1.
Menerapkan Good Corporate Governance
secara konsisten.
2. Memperketat internal control.
3. Melakukan pemisahan fungsi risk manajemen dan
fungsi marketing.
4. Selalu mengacu pada best practice dan UCP
dalam menangani transaksi L/C.
5. Memberlakukan aturan kewenangan yang
berjenjang dalam memutus fasilitas L/C ekspor.
2.
Masalah Dengan Letters
of Credit
Produsen tekstil dan garmen skala kecil
dan menengah Indonesia menghadapi masalah dengan L/C selain masalah daya saing
lainnya.
Industri tekstil dan garmen Indonesia
telah lama menjadi pilar utama bagi perekonomian Indonesia, yang memberikan
lapangan kerja dan devisa yang sangat besar. Namun persaingan di pasar global
semakin ketat.
Bagi pengekspor Indonesia, tren yang ada
cukup mengkhawatirkan: impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Amerika menurun,
dan banyak perusahaan Indonesia bergantung pada pasar ini. Meskipun
negara-negara Uni Eropa juga tujuan ekspor yang penting, banyak pengekspor
merasa bahwa Uni Eropa adalah pasar yang sulit ditembus karena pesanan yang
lebih kecil dan kecenderungannya membeli dari berbagai sumber. Pasar
alternatif lain seperti Jepang juga sulit ditembus, dimana banyak perusahaan
Indonesia berpendapat standar yang diterapkan terlalu tinggi. Selain itu,
konsumen Jepang cenderung sangat loyal kepada produk tertentu dan hubungan yang
terjalin dengan pemasok Cina dan Korea sebelumnya. Akibatnya, Perjanjian
Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN dengan Jepang yang ditandatangani beberapa
tahun lalu belum mampu signifikan mendorong ekspor atau investasi Jepang dalam
produksi tekstil Indonesia.
Di samping itu, ada kelebihan kapasitas
produksi garmen di negara-negara pengekspor di seluruh dunia. Kemajuan
teknologi yang memungkinkan pengusaha memenuhi berbagai kebutuhan memperbesar
kemungkinan buyer mencari sumber barang yang mereka inginkan dari mana
pun di dunia.
Dilatarbelakangi kecenderungan tersebut,
hambatan yang dihadapi UKM Indonesia untuk mendapatkan L/C cukup besar;
sehingga mengurangi daya saing dalam situasi yang sudah sulit ini.
Perusahaan tekstil dan garmen menggunakan
L/C untuk mendapatkan modal kerja guna membiayai pesanan mereka. Modal itu
sangat penting untuk membeli atau membayar uang muka seluruh bahan mentah dan
bahan lain yang dibutuhkan, termasuk kain, benang, retsleting, kancing, dll.
Sebagian dari barang itu tersedia di dalam negeri namun banyak pula yang harus
diimpor. Jika buyer tidak mau membuka L/C, pengusaha kesulitan cepat
mendapatkan bahan mentah– masalah yang diperparah oleh fakta bahwa buyer ingin
pesanan dipenuhi lebih cepat dari sebelumnya. Banyak buyer enggan membuka L/C, karena ketatnya
persaingan antar pengusaha tekstil sehingga mereka dapat cepat menemukan
alternatif yang lebih murah. L/C dari buyer
Jika buyer tidak
mau membuka L/C, pengusaha kesulitan mendapatkan bahan mentah dengan cepat –
masalah yang diperparah oleh fakta bahwa buyer ingin pesanan dipenuhi
lebih cepat dari sebelumnya.
seperti uang
muka untuk pembelian. Dana dibutuhkan untuk membuka L/C dan uang itu tidak
dapat digunakan untuk keperluan lain. Jika pengusaha dapat menanggung biaya
pengadaan bahan dan produksi tanpa uang muka dari buyer, maka buyer dapat menghemat
uang. Karena itu, mereka memilih mencari produsen yang dapat menanggung biaya
sendiri dibandingkan pengusaha yang memerlukan pembiayaan dari buyer.
Untuk
mengatasi masalah ini, menurut teori, produsen yang tidak bisa mendapatkan L/C
dari buyer dapat meminta kredit dari bank atas tanggungan sendiri. Jika
usaha sedang baik dan buyer dapat diandalkan, ini bukanlah masalah.
Namun, di Indonesia, sejak krisis moneter tahun 1997, bank merasa aman dari
risiko dengan menyimpan uang rekening yang pada dasarnya milik pemerintah,
dengan bunga sekitar 9 persen. Meskipun bank mungkin memperoleh laba lebih
besar dengan memberikan kredit, misalnya sebesar 15 persen, lebih riskan
menyalurkan kredit dibandingkan dengan keuntungan pasti yang didapat dari
pemerintah. Dengan demikian, bank-bank di Indonesia, yang masih enggan
mengambil risiko, enggan untuk menyalurkan kredit.
Buyer
yang
lebih suka memesan kepada produsen yang mampu membiayai sendiri atau yang
dapat mengurus pembiayaannya sendiri akan mencari pengusaha di negara lain di
mana bank bersedia untuk menyalurkan kredit, bahkan mungkin piutang, pinjaman –
dan akibatnya produsen Indonesia bisa dirugikan.
http://www.gunadarma.ac.id/